Sikap apatisme remaja
Apatisme adalah kata serapan dari Bahasa Inggris, yaitu apathy. Kata tersebut diadaptasi dari Bahasa Yunani, yaitu apathes yang secara harfiah berarti tanpa perasaan. Sedangkan menurut AS Hornby dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English: apathy is an absence of simpathy or interest. Dari definisi-definisi di atas, maka dapat ditarik satu benang merah definisi apatisme, yaitu hilangnya simpati, ketertarikan, dan antusiasme terhadap suatu objek. Sementara dalam wikipedia indonesia diartikan Apathy adalah kurangnya emosi, motivasi, atau entusiasme. Apathy adalah istilah psikologikal untuk keadaan cuek atau acuh tak acuh, di mana seseorang tidak tanggap atau “cuek” terhadap aspek emosional, sosial, atau kehidupan fisik. Kemudian kita dapat artikan bahwa apatisme adalah hilangnya rasa simpati masyarakat terhadap lingkungannya. Padahal masyarakat pada hakekatnya adalah sebuah kesatuan yang saling berikatan, sesuai dengan definisi masyarakat (society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem, dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut.
Secara psikologis, kondisi atau état yang apatik ini berpeluang menciptakan sikap yang lebih patetik di tingkat yang fatalistik. Ketidakpedulian atau "masa bodoh" massal ini dapat berakhir pada sikap yang fatal dengan, misalnya, hanya mengakui kebenaran kelompok (dirinya) sendiri. Sebuah fatalisme yang segera akan diiringi tindakan ekstrem atau anarkistis sebagai destruksi sosial (personal juga, tentu saja) yang menghasilkan kehancuran dasar kebersamaan, komunalitas hingga apa yang disebut kebangsaan (nasionalisme, dalam istilah lebih sempit).
Betapa menggiriskan jika ternyata bangsa ini akan hancur justru lebih disebabkan oleh faktor-faktor negatif dan destruktif dari dalam dirinya sendiri ketimbang faktor-faktor eksternal yang selama ini kita khawatirkan. Dan, menjadi satu tragedi ketika kegirisan yang terjadi itu justru tak disadari atau tidak dipahami oleh manusia/bangsa itu sendiri. Kita tidak mengerti kenapa kita sampai pada gejala dan kecenderungan seperti itu. Apalagi sikap tersebut sudah tertanam sejak dini dan kalau tidak ada kesadaran dari diri masing-masing, sikap tersebut akan terus berada didiri manusia/bangsa ini. Kita tidak tau kedepannya bakal seperti apa negara ini jikalau manusia/bangsa ini tidak berubah dan masih menyimpan sikap apatisme.
Perubahan yang mungkin terjadi secara praktis (nyata) tidak lagi mungkin terjadi secara intelektual. Karena akal sehat ternyata sama sekali tidak ampuh mengubah perilaku siapa pun. Apa yang masih mungkin dilakukan pada tingkat spiritual, tingkat kebatinan, dan muara dari mana kita mendapat acuan hingga keyakinan tentang apa yang bisa, boleh, dan benar kita lakukan. Perubahan itu, terserah mau radikal, revolusi atau evolusioner, harus terjadi di tingkat spiritual, dan religius (bukan religion). Bagaimana caranya? Pindah keyakinan atau pindah agama? Bukan, tentu saja bukan. Yang kita pindah bukan keyakinan atau agamanya, melainkan dasar-dasar dari apa yang membuat kita yakin dengan hati kita, percaya pada agama kita. Kemudian dengan kesungguhan, plus keberanian, menengok kembali khazanah ilmu dan budaya yang terpendam dalam tradisi kita. Tradisi mana? Tidak jauh-jauh, tradisi di mana kita atau orangtua kita berasal.
Ada beberapa hal yang mendorong remaja kehilangan karakter yang baik:
- Tuntutan Ekonomi yang Tinggi
Pada zaman dahulu setiap orang belajar merupakan sebuah cita-cita dan bukan merupakan tuntutan. Ini dapat diketahui bahwa jaman dahulu remaja benar-benar ingin belajar karena mereka menginginkan perubahan dalam status sosial dan ekonomi. Di mana hanya orang yang memperoleh pendidikan yang diterima dalam lingkungan masyarakat tertentu (elit) dan dapat dengan mudah memperoleh pekerjaan meski tanpa berkompetisi dengan banyak orang. Hal ini disebabkan karena masih sedikitnya lulusan sekolah tinggi sedangkan lapangan pekerjaan semakin banyak. Kenyataan ini menuntut seseorang untuk belajar dengan tekun dan rasa percaya tinggi akan masa depannya. Meskipun hanya orang-orang ningrat saja yang dapat mengenyam pendidikan tinggi. Akan tetapi mereka merasa dengan sekolah kehidupannya akan dapat berubah. Sedangkan saat ini, begitu banyak lembaga-lembaga pendidikan, ditambah lagi jutaan lulusan sekolah menengah dan perguruan tinggi ternyata hanya menjadi pengangguran dengan sikap apatisme mereka mendaftarkan diri agar dapat bekerja pada lembaga formal dengan gaji yang memadai. Hingga kecenderungan rasa rendah diri, putus asa (apatis) serta pelampiasan emosi yang berakibat pada prilaku yang diluar batas kewajaran. Selain itu, orang tua zaman dahulu, meski pendidikan mereka rendah ternyata secara emosi mereka lebih tenang dan sikap terima terhadap kehidupan ekonomi membuat perhatian mereka pada komunikasi di rumah lebih bermutu dan sedikit tuntutan terhadap anak-anak mereka. Sehingga secara psikologis anak pun tidak dihadapkan pada tuntutan yang terkadang mereka tidak mampu menerima dan menanggungnya.
2. Lemahnya Komunikasi Sosial
Hal lain yang menyebabkan remaja kehilangan karakter adalah manakala lingkungan masyarakat tidak lagi menjadi tempat berkomunikasi dan bergaul yang baik akan tetapi justru menjadi celah dan ruang terjadinya kesenjangan. Di antara anak-anak yang berkecukupan ternyata terdapat juga anak-anak yang berada dalam garis kemiskinan. Ini memungkinkan putusnya komunikasi banyak arah disebabkan karena perbedaan status sosial. Di mana anak-anak / remaja dari kelompok kaya cenderung hanya bergaul dengan kelompok kaya juga, sedangkan mereka dari golongan tidak mampu/miskin hanya bergaul dengan mereka yang status ekonominya sama dengan mereka. Hal inilah yang memunculkan sekat-sekat perbedaan dan mempertinggi kesenjangan hingga pada akhirnya konflik-konflik kecil yang terjadi tidak dapat diselesaikan dengan komunikasi yang baik layaknya keluarga akan tetapi diselesaikan dengan perangkat hukum yang cenderung jauh dari rasa keadilan. Sehingga pada saatnya akan terjadi benturan yang kedua kali
disebabkan kekecewaan yang cenderung tidak pernah diselesaikan.
3. Keluarga yang berantakan (broken home)
Broken Home di sini bukan hanya berkaitan pada perpecahan keluarga karena perceraian tapi lebih pada tidak adanya perhatian orang tua terhadap anak. Begitu juga sebaliknya tidak adanya penghormatan anak kepada orang tuanya karena orang tua lebih sibuk pada urusan keuangan dan materi lainnya, akan tetapi mereka melupakan aspek immateri atau jiwa anak-anaknya. Aspek ini juga menimbulkan banyak masalah dan menjadi penyebab yang besar terjadinya kehilangan karakter pada anak-anak remaja. Andaikan keluarga diibaratkan kapal yang berlayar di tengah samudra, ternyata konflik anak dengan orang tuanya menjadikan kapal tidak berjalan sesuai dengan harapan keluarga.
4. Media Massa
Media massa menempati urutan terakhir dalam bahasan ini meskipun pada kenyataannya ternyata media massa seperti TV, Video Game, Internet dll ternyata menyumbang kesalahan besar terhadap rusaknya karakter remaja. Berdasarkan pengamatan terhadap anak-anak desa yang sama sekali tidak mengenal istilah TV, Video Game dan Internet ternyata memiliki sikap dan perilaku yang lebih manusiawi dari pada anak-anak yang tinggal dengan suasana modern dan memiliki semua media dalam kehidupan sehari-hari. Mitchel V. Charnley dalam bukunya yang berjudul Reporting edisi III (Holt-Reinhart & Winston, New York, 1975, halaman 44) dalam Muda (2005) menyatakan bahwa: “Berita adalah laporan yang tepat waktu mengenai fakta atau opini yang memiliki daya tarik atau hal penting atau kedua-duanya bagi masyarakat luas”. Hal ini mengakibatkan terjadinya persaingan untuk mendapatkan minat pemirsa sebanyak mungkin dengan bobot peristiwa yang didasarkan terhadap eksklusivitas, keistimewaan, atau ruang lingkupnya. Kebebasan remaja dalam menerima informasi yang terkadang tidak layak untuk ditonton lebih banyak membuat kejiwaan anak mengalami perubahan secara signifikan karena mereka cenderung meniru apa yang dilihatnya. Kenyataan inilah yang mendorong perubahan prilaku pada remaja disebabkan informasi yang disampaikan terkadang keluar dari konteks dunia anak-anak dan remaja yang cenderung sedang mencari jati diri. Meski masih banyak media-media yang membuat seorang remaja kehilangan karakter akan tetapi pada hakekatnya semua kembali kepada keluarga, sosial masyarakat dan media massa yang seharusnya dapat memberikan batasan dan pencerahan tentang bagaimana menjaga agar karakter positif pada anak tidak hancur karena lingkungan yang tidak sejalah dengan kehidupan mereka. Ada baiknya, lingkungan keluarga lebih dahulu menanamkan akhlak yang baik dan mental yang jujur karena metode ini akan berimpikasi pada perkembangan prilaku anak dalam kehidupan mereka. Selain itu, kehidupan sosial yang berbeda hendaknya dipahami sebagai bentuk kewajaran dalam kehidupan manusia bahwa jika ada kemiskinan pasti ada kekayaan karena sebenarnya mereka harus saling berbagi dan mengerti sehingga tercipta keharmonisan hubungan di antara mereka.
Nama: Muhammad Iqbal Naufal
Kelas: 1IA01
NPM: 54416942
Mata Kuliah: Ilmu Sosial Dasar (Softskill)
Sumber:
Komentar
Posting Komentar